KOPI KLETHIS

09 Desember 2019
FATHUL MU'IN
Dibaca 100 Kali

 

Pertahankan Ciri Khas Kopi Klethis

Selain dalam bentuk green bean (biji kopi), warga Desa Kunir, Kecamatan Keling juga menjual kopi dalam bentuk bubuk. Ciri khas produk dari Kunis berupa kopi klethis. Oleh warga setempat, klethis adalah tekstur kasar yang sengaja disertakan pada sebagian bubuk kopi. Hal ini dimaksudkan agar saat diseduh, bisa tersaji seperti kopi yang ditumbuk secara tradisional.
“Prosesnya mudah. Tinggal mengatur ukuran saringan agar tidak halus semuanya. Kami memilih mempertahankan kopi klethis karena itu sudah terlanjur menjadi ciri khas produk kami,” kata Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sido Dadi, Keliban, Selasa (27/11/2019).
Penyediaan produk ini tidak hanya sebagai oleh-oleh wisatawan yang mengunjungi Gardu Pandang Jehan, namun juga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi bagi penikmat kopi. Belakangan, banyak warga yang menempatkan kebiasaan minum kopi sebagai gaya hidup.
“Petani memproses kopi dari awal sampai akhir. Kami punya pelanggan yang secara berkala datang untuk membeli kopi bubuk. Ada yang dikonsumsi sendiri dan banyak juga yang dijual lagi,” kata Keliban.
Meski masa panen kopi petik merah berlangsung antara bulan Juni hingga September, di Kunir, kopi tersedia sepanjang tahun. Hal ini karena hampir setiap petani tidak menjual habis kopinya pada masa panen. Petani memilih menyimpan dalam bentuk biji kopi. Karena petani mendapatkan pelatihan penanganan kopi dari hulu sampai hilir, mereka bisa menjaga kualitas kopi yang disimpan hingga musim panen berikutnya. Kopi yang disimpan telah melewati pengeringan hingga kadar air tersisa sekitar 12,5 persen saja. Kopi inilah yang disiapkan untuk diolah sepanjang tahun.
“Di gapoktan, kami memiliki 1 unit mesin sangrai atau roasting dan juga mesin penggiling yang digunakan untuk semua petani. Hampir setiap hari selalu ada yang menggunakan jasa roasting dan penggilingan,” lanjut Keliban.
Dengan menyediakan kopi dalam bentuk bubuk, warga bisa memetik peningkatan nilai ekonomi produk yang dihasilkan. Hal ini sebagaimana yang dikatakan salah satu petani kopi, Suwandi.
Meski mengaku lahan yang dia hanya satu bidang, Suwandi bisa mendapat minimal 2,5 kwintal kopi dalam bentuk wose per masa panen. Jumlah itu biasanya terkumpul dalam tiga kali panen petik merah. Ada warga yang dia sebut bisa panen hingga 1 ton.
“Padahal lahan yang saya miliki termasuk yang paling sedikit. Di sini saya masih pemula, masih dalam tahap belajar. Tapi dengan menangani sendiri sejak panen hingga pengemasan, hasil panen itu bisa saya olah menjadi bentuk bubuk sebanyak 170 kilogram. Dalam bentuk ini laku Rp70 ribu per kilogram,” terang Suwandi.
Dengan hitungan itu, hasil panen Suwandi bisa bernilai hingga Rp11,9 juta. Meski sudah lebih menguntungkan dibanding dijual dalam bentuk green bean, namun Suwandi masih meningkatkan nilai jual dengan cara menjual dalam bentuk kemasan.
Di tingkat petani di Desa Kunir, kopi bubuk kemasan 100 gram dijual seharga Rp10 ribu. Sedangkan kemasan 150 gram seharga Rp15 ribu. Dengan cara ini harga jual kopi bubuk di tingkat petani sudah mencapai Rp100 ribu per kilogram.
Pembeli bisa memilih kopi bubuk berdasar proses pengolahannya. Di antaranya proses basah fermentasi, proses natural, hingga kopi salsa, atau yang oleh warga setempat dikenal dengan kopi nangka, yaitu olahan bubuk dari kopi yang dianggap sebagai varietas tradisional setempat. (Sulismanto)

 

Pemdes Anggarkan Pembelian Mesin Roasting
Petinggi Desa Kunir, Kecamatan Keling, Sucipto, menganggarkan pembelian mesin roasting atau sangrai untuk mendukung warganya dalam produksi kopi bubuk.  “Kami realisasikan dengan sumber angggaran dari Dana Desa tahap ketiga tahun ini,” kata Sucipto kepada Gelora, Rabu (27/11/2019). Dengan pengadaan mesin roasting ini dia berharap kapasitas produksi kopi bubuk oleh warganya bisa meningkat. Dia memperkirakan, saat ini produksi kopi yang dialoh hingga hilir baru sekitar 20 persen dari seluruh hasil panen. “Di desa kami ada ratusan hektare lahan hutan yang dimanfaatkan warga untuk budidaya kopi. Warga kami 2985 jiwa. Hampir semua kepala keluarga memiliki tanaman kopi dalam jumlah ratusan hingga ribuan pohon.,” katanya.  Pengadaan alat ini sangat mendukung kebutuhan mesin sangrai yang sebelumnya hanya tersedia 1 unit, berasal dari bantuan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Mesin roasting yang lebih dahulu ada, berkapasitas 5 kilogram dalam sekali produksi yang dikelola oleh Gabungan Kelompok Tani Sido Dadi. Sedangkan mesin yang dibeli dengan DD berkapasitas 3 kilogram sekali produksi. “Tergantung suhunya. Tapi rata-rata proses roasting sekitar 15 menit. Maka kalau mesin berkapasitas 3 kilogram ini kita gunakan 8 jam per hari, bisa membantu proses roasting hampir 1 kwintal per hari,” katanya.Sementara itu, dengan posisi Kunir yang menjadi desa wisata, keberadaan Gardu Pandang Jehan yang ditopang hamparan kebun kopi, diharapkan bisa menjadi paket kunjungan wisata yang menarik. Pemerintah desa, menurut Sucipto, telah mengajukan permohonan izin kepada gubernur untuk membangun jalan ke Gardu Pandang dengan menggunakan anggaran dana desa dan tambahan bantuan khusus. Permohonan izin ini diperlukan karena lokasi Gardu Pandang Jehan dan sebagian jalan menuju lokasi berada di lahan Perhutani.“Sudah diizinkan dan ada bantuan khusus juga. Selambatnya akhir tahun depan sudah selesai,” tambah Sucipto.Oleh Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat, Fathul Muin, upaya ini diharapkan mampu menarik minat warga mengunjungi desa wisata itu, terutama pada puncak masa panen kopi. (Sulismanto)